Akulah Burung yang Lepas dari Sangkarnya
Oleh Nadhila Dwi S. B. A.
Seperti biasa, senja
itu aku duduk seorang diri di kursi kayu yang terletak di depan rumahku. Mataku
memandang jauh ke hamparan sawah yang terletak di seberang jalan menuju
rumahku. Di sana tampak burung-burung sedang menari dan bernyanyi diantara
hamparan lautan emas dengan riangnya. Kelihaian burung berwarna putih dan
coklat itu menambah keelokan jingganya langit senja ini.
Hanya ada satu hal
yang aku ingin dari burung-burung itu, aku ingin merasakan kebebasan menikmati
setiap hembusan nafasku seperti yang burung-burung itu rasakan. Aku ingin
terbang ke Surga, menjauh dari semua kekejaman dan penindasan orang-orang tak
berperikemanusiaan, walau sekalipun itu adalah ibu kandungku sendiri. Aku tak
tahu apa kata Tuhan terhadapku, apakah aku adalah anak durhaka???
Semula aku sangat
menyayangi ibuku, menuruti semua perkataan yang terucap dari bibirnya, termasuk
melakukan hal di luar kehidupan anak berusia 14 tahun. Tapi kini aku telah
lelah dengan semua kelaziman ini, terkadang aku membantah, kemudian aku mulai
masuk ke dalam kamar. Pintu kamar aku kunci dengan tubuhku yang terduduk lesu
dengan wajah tertutup tangan, menempel pada lutut. Kemudian, satu persatu titik
embun dari mataku jatuh membasahi tanganku hingga mengalir sampai lutut, dan
akhirnya jatuh ke lantai.
Ratusan pasang mata di
kampungku tahu bahwa aku adalah anak dari hasil hubungan gelap ibuku dengan
laki-laki yang tak pernah sekalipun menjalankan haknya sebagai seorang ayah
terhadapku. Walau demikian, aku tak bisa terus menerus menyalahkan orang yang
tak pernah ku tahu keberadaaanya itu, karena memang sifat ibukulah yang
membawanya ke semua masalah ini. Entah berapa banyak laki-laki yang pernah
bersama ibuku dan entah berapa kali ibuku melakukan aborsi. Bahkan aku tak
pernah tahu berapa jumlah saudaraku yang masih hidup.
Menurut tetangga di
sekitar rumahku, ibuku punya seorang anak yang kini hidupnya sukses bersama
laki-laki tmbatan hatinya di Surabaya. Dia bernama Marnia. Kabarnya setiap
bulan ibu mendapat kiriman uang darinya. Hal lain mengenai anak ibu memang
banyak. Bahkan sebelum aku lahir ibu pernah membuang anaknya di depan Rumah
Sakit Santa. Tetapi naas, aku tak dapat menemukan saudaraku tersebut, menurut
petugas RS Santa, anak ibu diasuh oleh salah satu suster di sana, padahal
aturan Gereja melarang suster kristiani untuk menikah apalagi mempunyai anak,
sehingga sang suster memilih untuk kabur dari RS Santa. Jika mendengar berita
mengenai sifat ibuku, rasanya hatiku sakit teriris-iris dan malu.
Sekejab aku tersentak
dari lamuananku ketika aku mendengar suara ibu yang memanggilku.
“Bella cepat cuci
piringnya! Ibu mau makan sudah gak ada piring bersih!” terdengar nada tinggi
suara ibuku di balik dapur.
“Iya Bu, sebentar,”
kataku sembari beranjak dari kursi.
Yahhh…..Bella adalah
namaku. Terdengar seperti nama seorang artis ataupun gadis anak orang kaya.
Namun siapa sangka, nama lengkapku adalah Nobella. Aku tak pernah tahu arti
dari namaku sendiri, bahkan andai nama itu berasal dari Bahasa Inggris, maka
jika ditafsirkan dalam Bahasa Indonesia menjadi “bukan Bella”. Lalu siapa
namaku?? Mungkin, aku ditakdirkan oleh Tuhan untuk hidup tanpa sebuah nama. Betapa buruk nasibku ini
Tuhan????
***
Tak ku duga sama sekali, aku bertemu
dengan kakakku Marnia. Dari kejauhan terlihat seorang perempuan cantik berdiri
di ambang pintu rumahnya, dan memanggil seseorang yang berada di ujung jalan.
Tak lain orang yang berada di ambang pintu itu adalah Kak Marnia, dan orang
yang dipanggil itu adalah aku. Segera aku berlari dengan kencang menyambut
panggilannya. Ingin rasanya aku merasakan pelukan hangat seorang kakak yang
selama ini belum pernah aku rasakan.
Akan tetapi, sebelum aku berhasil
mendekap tubuhnya, sebuah benda keras terlebih dahulu menghantamku. Aku meronta
keras, merintih kesakitan, seluruh tubuhku terasa sakit semua. Aku tersentak
kaget, tanpa dikomando kedua mataku langsung terbelalak menghadap ke sebuah lantai
kotor. Aku sangat kenal dengan lantai ini, tidak salah lagi ini adalah lantai
kamarku yang sudah 1 bulan belum juga aku pel. Perlahan-lahan aku mulai
mengambil posisi duduk. Baru kusadari, ternyata semua sandiwara itu hanyalah
bunga-bunga tidur belaka.
“Ya Tuhan,… Kenapa aku
memimpikan Kak Marnia, padahal belum sekalipun aku pernah melihat wajahnya.
Apakah ini petunjuk untuk bisa lepas dari semua kobaran api yang selama ini membelenguku,
Tuhan,…” kataku dalam hati.
Belum sempat aku
berhasil mencerna pertanyaan itu, dari balik kamarku sudah terdengar
nyanyian-nyanyian khas Ibuku yang setiap pagi ia lantunkan kepadaku.
“Bella, sudah jam 5
cepat bangun dan segera memasak. Jangan
sampai Ibu kelaparan lagi seperti pagi kemarin!” suruhnya dengan suara
menggelegar bak petir.
“Ya Bu, sebentar” kataku
pelan sembari beranjak dari ranjangku.
Sambil memasak, aku
masih memikiran tentang mimpiku tadi. Setelah kupikirkan, mimpiku ada benarnya
juga. Inilah saatnya aku harus terbang bebas keluar dari sangkarku. Tetapi bagaimana
caranya aku bisa bertemu Kak Marnia? Aku tak tahu alamat rumahnya, bahkan aku
tak punya uang sepeserpun untuk bisa pergi kesana. Pertanyaan-pertanyaan itu
membuatku semakin tertantang dan berfikir keras.
Beragam benang di
otakku mulai menyatu, bekerjasama menghubungkan semua memori yang bakalan
berhasil melalui tahap akhir yaitu compulsion.
Seberkas sinarpun memancar, memberikan jalan
penerang untuk teka-teki ini.
Kak Marnia setiap
bulan mengirim uang kepada ibu, otomatis ibu pernah mengirim surat untuk Kak
Marnia, dan dalam amplopnya pasti ada tulisan alamat rumah Kak Marnia. “Aku harus
bisa menemukan amplop itu.” kataku bersemangat.
Tak terasa sudah 50
menit aku bergelut dengan api, dan kini semua hidanganpun siap untuk disajikan.
Memang menu pagi ini hanya sederhana, nasi putih dengan lauk tempe goreng dan
oseng-oseng daun singkong. Tanpa hitungan menit, semua masakan itu sudah
tersaji di meja makan bersama air putih.
Tanpa dikomando,
ibukupun langsung melahapnya. Satu suap makanan telah masuk ke mulut ibuku,
tetapi sebelum makanan itu berhasil melewati kerongkongan, ibuku sudah
memuntahkannya.
“Kamu kasih berapa
garam di oseng-oseng ini Bell. Kok rasanya pahit dan asin, sebenarnya kamu mau
meracuni ibu ya?” bentak ibuku sambil menghentakkan tangannya ke atas meja.
“Bukan begitu,
takarannya sama seperti biasa kok Bu,” kataku menunduk.
“Kamu ini di bilangin
malah mengelak. Kemarin masaknya telat, sekarang keasinan, terus besuk
apalagi?” tambahnya sambil pergi.
Aku hanya terdiam, tak
ada satu katapun yang berhasil keluar dari mulutku. Semua omelen-omelan itu
memang sudah menjadi makanan pokokku sehari-hari. Tak terasa satu persatu air
mataku mulai berjatuhan, mengiringi hatiku yang pilu. Aku baru ingat bahwa yang
kutaburkan ke oseng-oseng tadi adalah garam, padahal seharusnya gula, past ini
gara-gara aku terlalu memikirkan Kak Marnia.
***
Malam ini rumahku terasa sepi. Langit yang mendung dan
kelam berpacu pada suasana malam yang dingin menusuk tulang. Kusibakkan selimut
berwarna coklat terang untuk menghangatkan tubuhku yang mulai kaku kedinginan.
Seharusnya ini menjadi malam terindah bagi kami, umat kristiani. Ini adalah
malam natal, malam penuh taburan kasih sayang. Namun, sudah 4 tahun terakhir
ini aku tidak merayakan malam natal di Gereja. Entah kenapa sejak aku berumur
10 tahun, ibu melarangku untuk menghabiskan malam natal di Gereja. Jika malam
ini aku nekat pergi ke Gereja, aku takut di marahi ibuku. Aku takut bila ibuku
tiba duluan dirumah dan menghadangku di depan pintu seperti malam natal di
usiaku yang ke 11.
Jam dinding yang tergantung di sudut kamar telah
menunjukkan pukul 11, tetapi ibu belum juga pulang. Biasanya sebelum jam 10
ibuku sudah mendobrak pintu depan dan berteriak memanggil namaku. Namun malam
ini, suara itu belum juga mengusik telingaku, mungkin ini karena malam natal,
jadi ibuku pulang lebih larut.
Di tengah-tengah dinginnya malam, tiba-tiba saja ada sebuah
ide yang muncul di benakku. Dengan
berbalutkan selimut di tubuhku, aku mulai berjalan menyelinap ke kamar ibuku.
Seluruh perabotan di kamar ibu ku obrak-abrik berulangkali, namun sesuatu yang
kucari belum juga menampakkan kejelasan. Aku menyerah dan kehilangan akal,
akhirnya kuputuskan untuk mencari esok hari. Semua benda-benda yang berantakan
mulai kurapikan kembali, jangan sampai ada yang terlupa. Ketika aku memungut
kosmetik ibuku yang berceceran di lantai, mataku langsung tertuju pada sebuah
kotak kecil yang berada di bawah ranjang ibuku.
Dengan tubuh merayap, akhirnya aku dapat meraih kotak itu.
Perlahan aku mulai membukanya, betapa berbinar-binar mataku ketika melihat sekumpulan
amplop dari Kak Marnia yang ada di dalamnya. Segera kuambil salah satu amplop
itu, ternyata benar di balik amplop itu tertera alamat rumah Kak Marnia pada
sebelah pojok kanan bawah. Segera aku menyalin tulisan itu ke secarik kertas
yang sebelumnya sudah aku siapakan. Setelah yang kucari sudah ada di
genggamanku, aku segera meninggalkan kamar ibu dan beranjak tidur untuk
persiapan natal besuk pagi.
***
Suara nyaring ayam
jago berkokok memecahkan keheningan pagi, menarik paksaku untuk keluar dari
alam mimpi dan menghadapi alamku yang sebenarnya, alam dimana aku harus menjadi
prajurit bagi diriku sendiri. Suasana pagi ini memang cerah, mungkin Tuhan mengizinkan
kami untuk memuliakan hari kelahirannya dan berbagi kasih sayang. Seharusnya
ini adalah hari yang luar biasa bagi kami umat kristiani, menghabiskan hari
natal dengan taburan kasih sayang, pohon dan kado natal yang indah serta
menikmati lezatnya kue natal. Tapi tak satupun dari semua itu yang bisa aku
rasakan hari ini, bahkan seumur hidup belum pernah kurasakan.
“Bella, ayo cepat
pergi ke Gereja!” teriak ibu dari halaman depan rumah.
“Sebentar lagi Bu,
baru mencari sandal.” kataku membohongi ibu, padahal aku sedang meletakkan
secarik kertas di meja rias ibu.
“Kalau sudah segera
kemari, sebelum Gereja penuh. Setelah ini ibu masih banyak acara yang jauh
lebih penting, tidak seperti kamu yang hanya bengong-bengong saja di rumah.
Ambilkan alat make up ibu juga!”
tambah ibu.
“Ya, Bu. Segera kuambil.” kataku sembari
memasukkan secuil kertas berisi alamat rumah Kak Marnia dan 1 stel baju.
“Cepaaattttt Bella, 5
menit cari alat make up belum ketemu juga!” teriak ibu.
“Aku segera datang
Bu.” kataku sembari berjalan keluar menemui ibu.
“Mana alat make
upnya?” tanya ibu.
“Aduh, ternyata
aku lupa,…. Ya Tuhan, bantu aku.” kataku
dalam hati.
“Manaaaa kamu sudah
ambil belum?” suara ibu meninggi.
“Maaf Bu, ee.e... anu
Bu, tadi nyarinya belum ketemu, ibu sudah memanggil.”
“Ngak usah banyak
alasan, kamu itu memang anak pemalas, nyari alat make up saja ngak becus.” terdengar suara ibu di dekat kupingku
sambil menjewernya.
“Auuu…. Sakit Bu… Biar
Bella cari lagi,” jawabku memohon.
“Sana cepat cari lagi,
jangan kembali sebelum ketemu.” gertak ibuku.
Akupun segera
membalikkan badanku dan bergegas masuk kembali ke dalam rumah. Tetapi sebelum
aku menginjakkan kaki pertamaku,.. .
“Bell, yang kamu bawa
di tas itu apa, seperti lengan baju!” tanya ibu sambil melihat lengan bajuku
yang terselip dan belum sepenuhnya masuk ke dalam tas.
Mendengar hal itu,
jantungku serasa berhenti berdetak. Keringat dingin keluar dari seluruh
pori-pori kulitku, aku menunduk, tak berani beradu mata dengan ibuku.
“Kasih tas kamu ke
ibu, atau ibu yang akan membuka paksa!” teriak ibu.
“Jangan Bu, ini bukan
apa-apa kok Bu.” jawabku gemetar.
“Jangan melawan, kamu
itu ke Gereja kok bawa tas sebesar ini.” hardik ibu sambil membuka paksa tasku.
“I..tu….. hanya ba..ju
biasa kok, Bu.” jawabku membela.
“Baju biasa gimana. Ke
Gereja kok bawa baju, kamu mau kabur dari ibu?”
“Engg…. Enggak Bu.”
jawabku sembari menangis.
“Kamu ini memang anak
yang gak tahu di untung. Sudah enak di kasih makan malah mau pergi,” gertak ibu
sambil menampar pipi kananku.
“Sakit Bu…” kataku
mengiba.
“Ini akibatnya kalau
kamu mau kabur dari ibu.” suara ibu mulai meninggi.
“Ma….af Bu,”
“Awas kalau kamu kabur
dari ibu, ibu gak bakal maafin dan menerima kamu lagi. Camkan itu baik-baik!”
bentak ibu sambil mendorongku ke belakang, hingga aku jatuh tersungkur di
tanah, bersujud kepada ibu.
Hatiku seperti
tersayat-sayat, mendengar semua hinaan ibu. Aku sudah tidak tahan lagi dengan
semua ini. Aku berusaha mengumpulkan seluruh energiku, kemudian bangkit dan
inilah saatnya aku keluar dari penindasan.
“Bu, aku ingin bebas.
Aku ingin melakukan dan diperlakukan sepeti lazimya anak seusiaku.” teriakku
disela-sela isak tangis.
“Owwwhh… Kamu ingin
bebas. Kalau ingin bebas, ibu gak akan kasih makan kamu, terserah mau makan apa
dan kamu juga harus tidur di halaman rumah. Ibu gak mau tidur satu atap sama
anak durhaka sepertimu!”
“Oke, aku akan
buktikan. Aku bisa hidup tanpa ibu.” jawabku lantang.
“Kalau itu maumu
terserah. Ibu gak akan ngurusin kamu lagi, asalkan jangan sekali-kali kamu
kabur, jika melanggar tahu sendiri akibatnya.”
“Kenapa ibu melarangku
pergi, aku ingin bebas tidak dikekang oleh ibu terus!”
“Pokoknya gak boleh
pergi.. Sudah, sekarang cepat ke Gereja ambil uang.” suara ibu mulai menurun.
Dengan hati yang telah
hancur berkeping-keping, ku langkahkan kaki menuju Gereja. Ibu memang
menyuruhku ke Gereja untuk mengambil uang. Setiap natal Gereja membagikan uang
kepada anak yatim sepertiku, walaupun sejatinya aku bukan anak yatim, melainkan
anak yang belum pernah di urus ayahnya.
Seusai dari Gereja,
kumantapkan langkah kakiku untuk pergi ke Stasiun Lempuyangan dengan berbekal
uang Rp 135.000,00 dari Gereja. Aku tak peduli dengan perkataan ibu, yang jelas
dalam secarik kertas yang ku letakkan di meja rias ibuku, aku telah berbicara
padanya, meminta maaf kepada ibu karena telah pergi darinya, tetapi aku akan
buktikan aku bisa hidup tanpa ibu dan berjanji suatu saat nanti aku pasti akan
kembali untuk ibu.
Uang Rp 40.000,00 sudah ku belanjakan untuk membeli tiket
Kereta Api kelas ekonomi. Saat aku sudah menaiki Kereta Api, otakku kembali
dilanda kegelisahan. Bermacam-macam pertanyaan bermunculan silih berganti di
sana. Apakah aku pantas meminta belas kasihan dari Kak Marnia? Apakah Kak
Marnia mau menerima seseorang yang belum dikenal dan belum pernah sekalipun
melihatnya? Namun, perlahan-lahan pertanyaan itu mulai menjauh dariku. Mata
hatiku, telah memilih untuk ke Surabaya, andaikan Kak Marnia tidak menerimaku,
aku akan bekerja dan mencari pengalaman disana.
Jam 5 pagi, aku sudah
sampai di Stasiun Gubeng Surabaya. Ku tengok kembali secuil kertas yang berisi
alamat rumah Kak Marnia di saku celanaku, di situ tertera Blok A7, Pacar
kembang, Tambaksari, Surabaya. Kemudian aku menghampiri pangkalan ojek yang
kebetulan tidak jauh dari situ, ku suruhnya dia mengantarkanku ke alamat yang
ku maksud. Ternyata rumah Kak Marnia tidak jauh dari sana, tak selang 12 menit
aku tiba disana.
Hal pertama yang
tersirat ketika melihat rumah Kak Marnia adalah mengagumkan. Rumahnya bak
istana yang berdiri megah dengan balutan keramik di dindingnya yang berwarna
coklat dan merah dengan tatanan estetika yang mempesona. Hal ini berbeda 180°
dibanding rumahku. Kekagumanku terhadap istana itu mendadak sirna ketika aku
melihat sebuah masjid yang berdiri kokoh di
depan istana itu. Disana nampak seorang ustad yang sedang mengajar santri
yang ada di depannya. Terdengar jelas percakapan diantara mereka.
“Siapa yang tahu arti
dari Man jadda Wa Jadda Man
Shabara Zhafira” tanya ustad itu,
kepada segerombolan anak yang ada di depannya.
“Siapa yang bersunguh-sungguh dia akan mendapatkannya, dan
barang siapa bersabar dialah yang akan beruntung.” jawab salah seorang dari santri
itu.
“Benar sekali, sekarang kita lanjutkan membaca Al Qur’an
juz 4.” kata ustad.
Aku sungguh takjub melihat pemandangan itu. Aku bisa
merasakan rasa senang santri itu mengikuti pembelajaran, apalagi hatiku merasa
nyaman sekali mendengarkan mereka membaca Al Qur’an. Tak terasa
kepingan-kepingan air matakupun jatuh membasahi pipiku yang masih sakit karena
ditampar ibu kemarin.
Terlalu asyiknya aku memperhatikan mereka, tak sadar aku
sedang di perhatikan oleh seorang wanita cantik yang sedang menyiram bunga.
“Maaf dek, kamu siapa ya? Kenapa kok berdiri disini sambil
menangis.” tanya wanita cantik itu sembari menutup kran air.
“Ehm…Maaf, saya sudah lancang masuk kesini.” jawabku sambil
menunduk.
Kemudian kujelaskan
kepada wanita itu tentang maksud kedatanganku kemari. Kujelaskan bahwa aku
adalah anak dari Ibu Resam bernama Bella, yang ingin bertemu dengan anaknya,
Kak Marnia. Kujelaskan juga mengenai tanggal lahir ibu, dan ciri-ciri ibu untuk
menguatkan bukti bahwa aku benar – benar anak dari Ibu Resam. Aku kaget ketika
tahu ternyata wanita cantik yang ada di depanku itu adalah Kak Marnia yang
selama ini aku cari.
“Owwhh,.. Bella
adikku!” kata Kak Marnia sembari memelukku.
Aku merasakan damai
sekali ketika aku di peluk Kak Marnia. Inilah kasih sayang yang selama ini kuharapkan
dari ibuku yang belum pernah aku rasakan, walaupun orang yang memeluk saat ini
bukanlah ibuku.
Kujelaskan semua hal
yang terjadi antara aku dan ibu. Bahkan tentang kaburnya diriku dari rumah.
“Astagfirullah… Kakak tidak menyangka sifat ibu bisa bertambah kejam
sepeti itu, untung kamu cepat kesini.” kata kak Marnia sembari mengelus
rambutku.
“Asslamu’alaikum.”
sapa ustad yang tadi ku lihat di masjid.
“Wa’alaikumsalam.”
jawab Kak Marnia.
“Ohhh iyaa dek, kenalin ini Mas Grahaq, suami kakak.”
“Oww.. Jadi ustad ini suami kakak. Kenalkan saya Bella
adiknya Kak Marnia.” kataku sembari berjabat tangan dengannya.
***
Hari-hariku terasa berbeda setelah aku tinggal bersama Kak
Marnia, aku merasa lebih bahagia. Hidupku bagaikan burung yang lepas dari
sangkarnya. Dahulu aku dikekang oleh ibu, harus memenuhi semua perintahnya.
Tapi, tidak untuk sekarang, aku bisa terbang bebas kemanapun aku mau, ku
kepakkan sayapku kearah manapun sesuka hati.
Seperti biasa sore itu, aku menyiram tanaman di halaman
rumah sambil mendengarkan Mas Grahaq yang mengajar santrinya. Aku sangat betah
bila setiap sore berada di halaman rumah Kak Marnia. Disana aku bisa
mendengarkan para santri belajar mengaji. Aku ingin bisa membaca Al Qur’an seperti
mereka, aku ingin mendamaikan hati ibuku dengan bacaan Al Qur’an, aku ingin
hati ibuku merasa tenang dan nyaman, seperti yang kurasakan saat aku
mendengarkan para santri itu membacanya.
Apakah aku harus meninggalkan agama Kristen seperti yang di
lakukan Kak Marnia setelah menikah dengan Mas Grahaq? Aku coba utarakan hal itu
kepada Kak Marnia. Tetapi, Kak Marnia menyerahkan semua itu kepadaku, ia tak
ingin keputusannya membebaniku. Akhirnya aku memutuskan untuk beragama Islam,
karena hatiku merasa damai dengan bacaan ayat-ayat suci Al Qur’an.
Dengan bantuan Mas Grahaq aku telah sah masuk agama islam
dengan membaca “Asyhadu an-Laa Ilaaha
Illallah wa Asyhadu an-Na Muhammadarrosuululloh”.
“Alhamdulillah,
sekarang kamu memeluk agama Islam.” kata Mas Grahaq.
“Wahh.. Kamu semakin cantik
dengan kerudung itu Bella,” puji Kak Marnia.
Tiba-tiba saja aku teringat pada janjiku untuk kembali ke
ibu. Akhirnya Kak Marnia memutuskan untuk mengantarku pulang kepada ibu.
***
Saat aku tiba di rumah, aku melihat ibu sedang duduk
sendirian di kursi halaman depan. Terlihat raut wajah ibu lebih keriput sebelum
aku tinggal dulu, maklum usia ibu sudah berkepala empat. Melihat ibu, aku
langsung memeluknya. Ibuku sangatlah kaget dengan kehadiranku, aku tak
menyangku ibu mau memelukku bahkan sampai mencium keningku. Air matakupun terus
menetes mengiringi pertemuan yang haru ini.
“Bella, maafkan Ibu yang selama ini selalu kejam kepadamu.
Semenjak kamu pergi, ibu mulai sadar bahwa betapa pentingnya kamu bagi ibu.”
rintih Ibu.
“Jangan begitu Bu,. Justru aku yang meminta maaf kepada
ibu, aku telah kabur dari ibu, aku melanggar nasihat ibu.” jawabku
tersedu-sedu.
“Kalau begitu sekarang ibu dan Bella baikan, jangan lagi
ada yang bertengkar. Maaf Marnia tidak bisa tiggal disini, saya harus menemani
Mas Grahaq di Surabaya.” kata Kak Marnia disela-sela tangisan kami.
“Tidak apa-apa Kak. Akulah yang akan selalu menemani dan
menjaga ibu sampai kapanpun.”
“Terimakasih Bella. Hatimu sungguh luar biasa, dan wajahmu
kini semakin cantik dengan kerudung itu. Tapi maaf, ibu tidak bisa mengikuti
agama kalian. Ibu tetap beragama Kristen.”
“Itu tidak masalah Bu, yang jelas kita selalu bersatu dan
saling mengerti. Seperti semboyan Bhinneka
Tunggal Ika.” kata Kak Marnia sembari merangkul aku dan ibu.
“Terimakasih ya Allah, betapa luar biasa keagungan-Mu.
Sekarang aku bisa merasakan hangatnya pelukan ibu dan kakakku, walaupun tidak
ada sesosok ayah disamping kami.” kataku bersyukur dalam hati.
***
Nama : Nadhila Dwi S. B. A.
Kelas : X3
No. : 23