2 Hati Menyatu dalam 1 Cinta

Sinopsis Novel 2 Hati menyatu dalam 1 Cinta

Kinanti adalah seorang gadis yatim piatu yang tinggal bersama paman dan bibinya, serta sepupu kembarnya yang bernama Marry dan Martin. Namun ternyata, mereka tidak memperlakukan Kinanti dengan baik, melainkan dimanfaatkan sebagai pembantu dengan fasilitas kamar kecil bekas gudang.
Hari-hari Kinanti terasa hampa, setiap hari hanya bekerja di Thetamart dengan gaji yang kecil, kemudian mengerjakan seluruh pekerjaan rumah yang seharusnya menjadi tanggungjawab bibinya. Kehampaannya dirsakan karena prinsip hidupnya selama ini, bahwa ia tidak suka keadaan dimana banyak orang di dekatnya, dia berfikir bahwa sendirian lebih nyaman, sehingga tak heran jika Kinanti tidak bisa bersosialisasi dengan baik.
Sebuah hal baru bagi Kinanti bertemu dengan seorang laki-laki yang bernama Husni. Dia adalah tetangga barunya  sekaligus manager baru di tempatnya bekerja. Perlakuan yang manis dan anggun dari Husni terhadap Kinanti, membuatnya merasa kagum dan tertarik untuk menjelajahi dunia barunya, yaitu bersosialisasi layaknya manusia lainnya.
Bersosialisasi dirasa sulit bagi seorang Kinanti yang berhati dingin. Hingga akhirnya dia melakukan  kesalahan yang harus memaksa dirinya lebih terjerumus pada penyiksaan. Kinanti melakukan mempunyai masalah dengan laki-laki bernama Hana, laki-laki yang disebutnya “Maniak”. Kinanti tak sengaja menjatuhkan smartphonenya di kloset, menumpahkan sop buntut panas di bajunya, sampai menginjak gitar seharga 45 juta milik Hana. Sebagai gantinya, Kinanti harus bekerja selama 1 tahun tanpa upah di rumah laki-laki yang ternyata salah satu personil band ternama itu.
Banyak hal yang terjadi ketika Kinanti bekerja dirumah Hana. Mulai dari perkenalannya dengan Mario, kakak dari Hana yang super ramah dengan hoby menulis segala sesuatu pada Note, karena pita suaranya rusak. Hubungan Husni dan Kinantipun semakin renggang, semenjak Kinanti tahu bahwa Husni adalah laki-laki pengecut dan penakut, bahkan dia memaksa Kinanti untuk menjadi istri keduanya.
Suatu masalah kembali muncul, ketika Merry memaksa Kinanthi untuk menjodohkannya dengan Mario, dengan imbalan bahwa dia akan mengembalikan harta milik orang tua kinanthi yang ternyata berkasnya ada di tangan Merry. Tanpa di duga Mario mengetahui hal itu dan menyusun rencana penjebakan ubtuk Marry. Hingga akhirnya Kinanti dapat merebut berkasnya kembali tanpa ada perjodohan itu.
Setelah mendapatkan berkas, Kinanti kabur dari rumah bibinya, dengan bantuan Hana, ia  mengunjungi pengacara yang tertera dalam berkas terebut. Namun naas, ternyata bibinya telah melakukan penipuan, dengan alasan menghibahkan harta orangtua kinanti terhadap panti asuhan yang kenyataannya panti asuhan itu tidak ada. Betapa terpukul hati Kinanti, dia mendatangi rumah bibinya dan memuntahkan semua amarahnya. Menyumpah-nyumpahkan bibinya yang diketahui ternyata bukan bibi kandungnya sendiri. Tak ayal, ternyata sumpah seorang anka yatim piatu dikabulkan oleh Tuhan, Dalam sekejap rumah bibinya ludes terbakar karena tiba-tiba saja ada petir menyambar salah satu aliran listrik. Jinanthi erasa puas telah menyambmpaikan semua amarahnya, namun ia kembali bngung, kemankah ia harus tinggal. Tanpa di sadari Hana meminta kinanthi tinggal di rumahnya, ternyata hubungan mereka selama ini telah membuat hana terpikat pada kinanthi begitu pula sebaliknya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sebuah Puisi



RAPUH DALAM KEGELAPAN MALAM


Gelapnya malam semakin pekat
Menutupi segalanya hingga semakin tak terlihat
Memaksa mata untuk tetap terjaga dengan ketat
Memelototi sapuan bayang-bayang mencari penyelamat

Di atas peraduan dinginnya malam mulai menggeragati tulang
Membekukan seluruh hasrat dalam kalbu
Merobohkan semangat dalam bara
Dan menahan langkah untuk tetap diam membeku

Tuhan, malam semakin gelap dan dingin
Tapi kenapa cahaya binatang malam  belum kugenggam
Oh, dimanakah kau sembunyikan wahai penguasa malam….
Disini… disana….. tak ada seditikpun jejak sang penyelamat

Malampun semakin gelap, dan inilah puncak murka sang malam
Suara degupan jantung berpacu melawan sang malam
Sepak terjang kaki terseok-seok menggoreskan jejak sang penjelajah malam
Suara rintihan ulu hati mencoba memecah keheningan malam

Acap kali terdengar suara hewan-hewan malam bergelut dalam kemelut malam
Membekas rasa takut yang  berpadu dalam tragedi malam
Perlahan-lahan merapuhkan asa dan harapan
Melumpuhkan segala yang menjadi impian

Sudah beribu kilo jalan kujejaki dalam kegelapan
Tak seberkas cahaya binatang malam meletupkan jati diri
Haruskah sampai ke ujung jalan segelintir nyali mengembara
Sampai menggenggam titik kemenangan

Ataukah aku kembali kejalanku saja
Mengubur semua asa yang telah membaja
Menenggelamkan darah yang menjadi titik kemenangan
Melelehkan kekuatan besi yang berdiri kokoh menahan kepedihan

Tapi, jika aku kembali
Kaki sudah tak siap menapaki jalan yang telah kujejaki
Sudah terlalu jauh aku pergi
Hingga aku tak tahu arah jalan kembali

Tapi, jika aku tetap pergi
Kaki sudah tak siap menapaki jalan yang masih berteka-teki
Haruskah ku tetap disini
Menunggu keajaiban datang sendiri

Mungkin hanya orang bodoh yang mau menunggu sesuatu yang tak pasti
Berharap dalam kekosongan malam
Ouhh,… kini ragaku telah lemas oleh kebimbangan
Aku tak sanggup berdiri menahan lara

Lututku lemas seperti tak bertulang
Roboh ketanah bagai daun tertiup angin
Badanku lunglai terhempas merunduk ketanah, bersimpuh
Wajahpun mencium tanah, Tuhan aku bersujud padamu

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sebuah Cerpen,

Akulah Burung yang Lepas dari Sangkarnya
Oleh Nadhila Dwi S. B. A.

Seperti biasa, senja itu aku duduk seorang diri di kursi kayu yang terletak di depan rumahku. Mataku memandang jauh ke hamparan sawah yang terletak di seberang jalan menuju rumahku. Di sana tampak burung-burung sedang menari dan bernyanyi diantara hamparan lautan emas dengan riangnya. Kelihaian burung berwarna putih dan coklat itu menambah keelokan jingganya langit senja ini.
Hanya ada satu hal yang aku ingin dari burung-burung itu, aku ingin merasakan kebebasan menikmati setiap hembusan nafasku seperti yang burung-burung itu rasakan. Aku ingin terbang ke Surga, menjauh dari semua kekejaman dan penindasan orang-orang tak berperikemanusiaan, walau sekalipun itu adalah ibu kandungku sendiri. Aku tak tahu apa kata Tuhan terhadapku, apakah aku adalah anak durhaka???
Semula aku sangat menyayangi ibuku, menuruti semua perkataan yang terucap dari bibirnya, termasuk melakukan hal di luar kehidupan anak berusia 14 tahun. Tapi kini aku telah lelah dengan semua kelaziman ini, terkadang aku membantah, kemudian aku mulai masuk ke dalam kamar. Pintu kamar aku kunci dengan tubuhku yang terduduk lesu dengan wajah tertutup tangan, menempel pada lutut. Kemudian, satu persatu titik embun dari mataku jatuh membasahi tanganku hingga mengalir sampai lutut, dan akhirnya jatuh ke lantai.
Ratusan pasang mata di kampungku tahu bahwa aku adalah anak dari hasil hubungan gelap ibuku dengan laki-laki yang tak pernah sekalipun menjalankan haknya sebagai seorang ayah terhadapku. Walau demikian, aku tak bisa terus menerus menyalahkan orang yang tak pernah ku tahu keberadaaanya itu, karena memang sifat ibukulah yang membawanya ke semua masalah ini. Entah berapa banyak laki-laki yang pernah bersama ibuku dan entah berapa kali ibuku melakukan aborsi. Bahkan aku tak pernah tahu berapa jumlah saudaraku yang masih hidup.
Menurut tetangga di sekitar rumahku, ibuku punya seorang anak yang kini hidupnya sukses bersama laki-laki tmbatan hatinya di Surabaya. Dia bernama Marnia. Kabarnya setiap bulan ibu mendapat kiriman uang darinya. Hal lain mengenai anak ibu memang banyak. Bahkan sebelum aku lahir ibu pernah membuang anaknya di depan Rumah Sakit Santa. Tetapi naas, aku tak dapat menemukan saudaraku tersebut, menurut petugas RS Santa, anak ibu diasuh oleh salah satu suster di sana, padahal aturan Gereja melarang suster kristiani untuk menikah apalagi mempunyai anak, sehingga sang suster memilih untuk kabur dari RS Santa. Jika mendengar berita mengenai sifat ibuku, rasanya hatiku sakit teriris-iris dan malu.
Sekejab aku tersentak dari lamuananku ketika aku mendengar suara ibu yang memanggilku.
“Bella cepat cuci piringnya! Ibu mau makan sudah gak ada piring bersih!” terdengar nada tinggi suara ibuku di balik dapur.
“Iya Bu, sebentar,” kataku sembari beranjak dari kursi.
Yahhh…..Bella adalah namaku. Terdengar seperti nama seorang artis ataupun gadis anak orang kaya. Namun siapa sangka, nama lengkapku adalah Nobella. Aku tak pernah tahu arti dari namaku sendiri, bahkan andai nama itu berasal dari Bahasa Inggris, maka jika ditafsirkan dalam Bahasa Indonesia menjadi “bukan Bella”. Lalu siapa namaku?? Mungkin, aku ditakdirkan oleh Tuhan untuk hidup  tanpa sebuah nama. Betapa buruk nasibku ini Tuhan????
***
          Tak ku duga sama sekali, aku bertemu dengan kakakku Marnia. Dari kejauhan terlihat seorang perempuan cantik berdiri di ambang pintu rumahnya, dan memanggil seseorang yang berada di ujung jalan. Tak lain orang yang berada di ambang pintu itu adalah Kak Marnia, dan orang yang dipanggil itu adalah aku. Segera aku berlari dengan kencang menyambut panggilannya. Ingin rasanya aku merasakan pelukan hangat seorang kakak yang selama  ini belum pernah aku rasakan.
          Akan tetapi, sebelum aku berhasil mendekap tubuhnya, sebuah benda keras terlebih dahulu menghantamku. Aku meronta keras, merintih kesakitan, seluruh tubuhku terasa sakit semua. Aku tersentak kaget, tanpa dikomando kedua mataku langsung terbelalak menghadap ke sebuah lantai kotor. Aku sangat kenal dengan lantai ini, tidak salah lagi ini adalah lantai kamarku yang sudah 1 bulan belum juga aku pel. Perlahan-lahan aku mulai mengambil posisi duduk. Baru kusadari, ternyata semua sandiwara itu hanyalah bunga-bunga tidur belaka.
“Ya Tuhan,… Kenapa aku memimpikan Kak Marnia, padahal belum sekalipun aku pernah melihat wajahnya. Apakah ini petunjuk untuk bisa lepas dari semua kobaran api yang selama ini membelenguku, Tuhan,…” kataku dalam hati.
Belum sempat aku berhasil mencerna pertanyaan itu, dari balik kamarku sudah terdengar nyanyian-nyanyian khas Ibuku yang setiap pagi ia lantunkan kepadaku.
“Bella, sudah jam 5 cepat bangun dan segera memasak. Jangan  sampai Ibu kelaparan lagi seperti pagi kemarin!” suruhnya dengan suara menggelegar bak petir.
“Ya Bu, sebentar” kataku pelan sembari beranjak dari ranjangku.
Sambil memasak, aku masih memikiran tentang mimpiku tadi. Setelah kupikirkan, mimpiku ada benarnya juga. Inilah saatnya aku harus terbang bebas keluar dari sangkarku. Tetapi bagaimana caranya aku bisa bertemu Kak Marnia? Aku tak tahu alamat rumahnya, bahkan aku tak punya uang sepeserpun untuk bisa pergi kesana. Pertanyaan-pertanyaan itu membuatku semakin tertantang dan berfikir keras.
Beragam benang di otakku mulai menyatu, bekerjasama menghubungkan semua memori yang bakalan berhasil melalui tahap akhir yaitu compulsion. Seberkas sinarpun memancar, memberikan jalan  penerang untuk teka-teki ini.
Kak Marnia setiap bulan mengirim uang kepada ibu, otomatis ibu pernah mengirim surat untuk Kak Marnia, dan dalam amplopnya pasti ada tulisan alamat rumah Kak Marnia. “Aku harus bisa menemukan amplop itu.” kataku bersemangat.
Tak terasa sudah 50 menit aku bergelut dengan api, dan kini semua hidanganpun siap untuk disajikan. Memang menu pagi ini hanya sederhana, nasi putih dengan lauk tempe goreng dan oseng-oseng daun singkong. Tanpa hitungan menit, semua masakan itu sudah tersaji di meja makan bersama air putih.
Tanpa dikomando, ibukupun langsung melahapnya. Satu suap makanan telah masuk ke mulut ibuku, tetapi sebelum makanan itu berhasil melewati kerongkongan, ibuku sudah memuntahkannya.
“Kamu kasih berapa garam di oseng-oseng ini Bell. Kok rasanya pahit dan asin, sebenarnya kamu mau meracuni ibu ya?” bentak ibuku sambil menghentakkan tangannya ke atas meja.
“Bukan begitu, takarannya sama seperti biasa kok Bu,” kataku menunduk.
“Kamu ini di bilangin malah mengelak. Kemarin masaknya telat, sekarang keasinan, terus besuk apalagi?” tambahnya sambil pergi.
Aku hanya terdiam, tak ada satu katapun yang berhasil keluar dari mulutku. Semua omelen-omelan itu memang sudah menjadi makanan pokokku sehari-hari. Tak terasa satu persatu air mataku mulai berjatuhan, mengiringi hatiku yang pilu. Aku baru ingat bahwa yang kutaburkan ke oseng-oseng tadi adalah garam, padahal seharusnya gula, past ini gara-gara aku terlalu memikirkan Kak Marnia.
***
Malam ini rumahku terasa sepi. Langit yang mendung dan kelam berpacu pada suasana malam yang dingin menusuk tulang. Kusibakkan selimut berwarna coklat terang untuk menghangatkan tubuhku yang mulai kaku kedinginan. Seharusnya ini menjadi malam terindah bagi kami, umat kristiani. Ini adalah malam natal, malam penuh taburan kasih sayang. Namun, sudah 4 tahun terakhir ini aku tidak merayakan malam natal di Gereja. Entah kenapa sejak aku berumur 10 tahun, ibu melarangku untuk menghabiskan malam natal di Gereja. Jika malam ini aku nekat pergi ke Gereja, aku takut di marahi ibuku. Aku takut bila ibuku tiba duluan dirumah dan menghadangku di depan pintu seperti malam natal di usiaku yang ke 11.
Jam dinding yang tergantung di sudut kamar telah menunjukkan pukul 11, tetapi ibu belum juga pulang. Biasanya sebelum jam 10 ibuku sudah mendobrak pintu depan dan berteriak memanggil namaku. Namun malam ini, suara itu belum juga mengusik telingaku, mungkin ini karena malam natal, jadi ibuku pulang lebih larut.
Di tengah-tengah dinginnya malam, tiba-tiba saja ada sebuah ide  yang muncul di benakku. Dengan berbalutkan selimut di tubuhku, aku mulai berjalan menyelinap ke kamar ibuku. Seluruh perabotan di kamar ibu ku obrak-abrik berulangkali, namun sesuatu yang kucari belum juga menampakkan kejelasan. Aku menyerah dan kehilangan akal, akhirnya kuputuskan untuk mencari esok hari. Semua benda-benda yang berantakan mulai kurapikan kembali, jangan sampai ada yang terlupa. Ketika aku memungut kosmetik ibuku yang berceceran di lantai, mataku langsung tertuju pada sebuah kotak kecil yang berada di bawah ranjang ibuku.
Dengan tubuh merayap, akhirnya aku dapat meraih kotak itu. Perlahan aku mulai membukanya, betapa berbinar-binar mataku ketika melihat sekumpulan amplop dari Kak Marnia yang ada di dalamnya. Segera kuambil salah satu amplop itu, ternyata benar di balik amplop itu tertera alamat rumah Kak Marnia pada sebelah pojok kanan bawah. Segera aku menyalin tulisan itu ke secarik kertas yang sebelumnya sudah aku siapakan. Setelah yang kucari sudah ada di genggamanku, aku segera meninggalkan kamar ibu dan beranjak tidur untuk persiapan natal besuk pagi.
***
Suara nyaring ayam jago berkokok memecahkan keheningan pagi, menarik paksaku untuk keluar dari alam mimpi dan menghadapi alamku yang sebenarnya, alam dimana aku harus menjadi prajurit bagi diriku sendiri. Suasana pagi ini memang cerah, mungkin Tuhan mengizinkan kami untuk memuliakan hari kelahirannya dan berbagi kasih sayang. Seharusnya ini adalah hari yang luar biasa bagi kami umat kristiani, menghabiskan hari natal dengan taburan kasih sayang, pohon dan kado natal yang indah serta menikmati lezatnya kue natal. Tapi tak satupun dari semua itu yang bisa aku rasakan hari ini, bahkan seumur hidup belum pernah kurasakan.
“Bella, ayo cepat pergi ke Gereja!” teriak ibu dari halaman depan rumah.
“Sebentar lagi Bu, baru mencari sandal.” kataku membohongi ibu, padahal aku sedang meletakkan secarik kertas di meja rias ibu.
“Kalau sudah segera kemari, sebelum Gereja penuh. Setelah ini ibu masih banyak acara yang jauh lebih penting, tidak seperti kamu yang hanya bengong-bengong saja di rumah. Ambilkan alat make up ibu juga!” tambah ibu.
 “Ya, Bu. Segera kuambil.” kataku sembari memasukkan secuil kertas berisi alamat rumah Kak Marnia dan 1 stel baju.
“Cepaaattttt Bella, 5 menit cari alat make up belum ketemu juga!” teriak ibu.
“Aku segera datang Bu.” kataku sembari berjalan keluar menemui ibu.
“Mana alat make upnya?” tanya ibu.
“Aduh, ternyata aku  lupa,…. Ya Tuhan, bantu aku.” kataku dalam hati.
“Manaaaa kamu sudah ambil belum?” suara ibu meninggi.
“Maaf Bu, ee.e... anu Bu, tadi nyarinya belum ketemu, ibu sudah memanggil.”
“Ngak usah banyak alasan, kamu itu memang anak pemalas, nyari alat make up saja ngak becus.” terdengar suara ibu di dekat kupingku sambil menjewernya.
“Auuu…. Sakit Bu… Biar Bella cari lagi,” jawabku memohon.
“Sana cepat cari lagi, jangan kembali sebelum ketemu.” gertak ibuku.
Akupun segera membalikkan badanku dan bergegas masuk kembali ke dalam rumah. Tetapi sebelum aku menginjakkan kaki pertamaku,.. .
“Bell, yang kamu bawa di tas itu apa, seperti lengan baju!” tanya ibu sambil melihat lengan bajuku yang terselip dan belum sepenuhnya masuk ke dalam tas.
Mendengar hal itu, jantungku serasa berhenti berdetak. Keringat dingin keluar dari seluruh pori-pori kulitku, aku menunduk, tak berani beradu mata dengan ibuku.
“Kasih tas kamu ke ibu, atau ibu yang akan membuka paksa!” teriak ibu.
“Jangan Bu, ini bukan apa-apa kok Bu.” jawabku gemetar.
“Jangan melawan, kamu itu ke Gereja kok bawa tas sebesar ini.” hardik ibu sambil membuka paksa tasku.
“I..tu….. hanya ba..ju biasa kok, Bu.” jawabku membela.
“Baju biasa gimana. Ke Gereja kok bawa baju, kamu mau kabur dari ibu?”
“Engg…. Enggak Bu.” jawabku sembari menangis.
“Kamu ini memang anak yang gak tahu di untung. Sudah enak di kasih makan malah mau pergi,” gertak ibu sambil menampar pipi kananku.
“Sakit Bu…” kataku mengiba.
“Ini akibatnya kalau kamu mau kabur dari ibu.” suara ibu mulai meninggi.
“Ma….af Bu,”
“Awas kalau kamu kabur dari ibu, ibu gak bakal maafin dan menerima kamu lagi. Camkan itu baik-baik!” bentak ibu sambil mendorongku ke belakang, hingga aku jatuh tersungkur di tanah, bersujud kepada ibu.
Hatiku seperti tersayat-sayat, mendengar semua hinaan ibu. Aku sudah tidak tahan lagi dengan semua ini. Aku berusaha mengumpulkan seluruh energiku, kemudian bangkit dan inilah saatnya aku keluar dari penindasan.
“Bu, aku ingin bebas. Aku ingin melakukan dan diperlakukan sepeti lazimya anak seusiaku.” teriakku disela-sela isak tangis.
“Owwwhh… Kamu ingin bebas. Kalau ingin bebas, ibu gak akan kasih makan kamu, terserah mau makan apa dan kamu juga harus tidur di halaman rumah. Ibu gak mau tidur satu atap sama anak durhaka sepertimu!”
“Oke, aku akan buktikan. Aku bisa hidup tanpa ibu.” jawabku lantang.
“Kalau itu maumu terserah. Ibu gak akan ngurusin kamu lagi, asalkan jangan sekali-kali kamu kabur, jika melanggar tahu sendiri akibatnya.”
“Kenapa ibu melarangku pergi, aku ingin bebas tidak dikekang oleh ibu terus!”
“Pokoknya gak boleh pergi.. Sudah, sekarang cepat ke Gereja ambil uang.” suara ibu mulai menurun.
Dengan hati yang telah hancur berkeping-keping, ku langkahkan kaki menuju Gereja. Ibu memang menyuruhku ke Gereja untuk mengambil uang. Setiap natal Gereja membagikan uang kepada anak yatim sepertiku, walaupun sejatinya aku bukan anak yatim, melainkan anak yang belum pernah di urus ayahnya.
Seusai dari Gereja, kumantapkan langkah kakiku untuk pergi ke Stasiun Lempuyangan dengan berbekal uang Rp 135.000,00 dari Gereja. Aku tak peduli dengan perkataan ibu, yang jelas dalam secarik kertas yang ku letakkan di meja rias ibuku, aku telah berbicara padanya, meminta maaf kepada ibu karena telah pergi darinya, tetapi aku akan buktikan aku bisa hidup tanpa ibu dan berjanji suatu saat nanti aku pasti akan kembali untuk ibu.
Uang Rp 40.000,00  sudah ku belanjakan untuk membeli tiket Kereta Api kelas ekonomi. Saat aku sudah menaiki Kereta Api, otakku kembali dilanda kegelisahan. Bermacam-macam pertanyaan bermunculan silih berganti di sana. Apakah aku pantas meminta belas kasihan dari Kak Marnia? Apakah Kak Marnia mau menerima seseorang yang belum dikenal dan belum pernah sekalipun melihatnya? Namun, perlahan-lahan pertanyaan itu mulai menjauh dariku. Mata hatiku, telah memilih untuk ke Surabaya, andaikan Kak Marnia tidak menerimaku, aku akan bekerja dan mencari pengalaman disana.
Jam 5 pagi, aku sudah sampai di Stasiun Gubeng Surabaya. Ku tengok kembali secuil kertas yang berisi alamat rumah Kak Marnia di saku celanaku, di situ tertera Blok A7, Pacar kembang, Tambaksari, Surabaya. Kemudian aku menghampiri pangkalan ojek yang kebetulan tidak jauh dari situ, ku suruhnya dia mengantarkanku ke alamat yang ku maksud. Ternyata rumah Kak Marnia tidak jauh dari sana, tak selang 12 menit aku tiba disana.
Hal pertama yang tersirat ketika melihat rumah Kak Marnia adalah mengagumkan. Rumahnya bak istana yang berdiri megah dengan balutan keramik di dindingnya yang berwarna coklat dan merah dengan tatanan estetika yang mempesona. Hal ini berbeda 180° dibanding rumahku. Kekagumanku terhadap istana itu mendadak sirna ketika aku melihat sebuah masjid yang berdiri kokoh di  depan istana itu. Disana nampak seorang ustad yang sedang mengajar santri yang ada di depannya. Terdengar jelas percakapan diantara mereka.
“Siapa yang tahu arti dari Man jadda Wa Jadda Man Shabara Zhafira” tanya ustad itu, kepada segerombolan anak yang ada di depannya.
“Siapa yang bersunguh-sungguh dia akan mendapatkannya, dan barang siapa bersabar dialah yang akan beruntung.” jawab salah seorang dari santri itu.
“Benar sekali, sekarang kita lanjutkan membaca Al Qur’an juz 4.” kata ustad.
Aku sungguh takjub melihat pemandangan itu. Aku bisa merasakan rasa senang santri itu mengikuti pembelajaran, apalagi hatiku merasa nyaman sekali mendengarkan mereka membaca Al Qur’an. Tak terasa kepingan-kepingan air matakupun jatuh membasahi pipiku yang masih sakit karena ditampar ibu kemarin.
Terlalu asyiknya aku memperhatikan mereka, tak sadar aku sedang di perhatikan oleh seorang wanita cantik yang sedang menyiram bunga.
“Maaf dek, kamu siapa ya? Kenapa kok berdiri disini sambil menangis.” tanya wanita cantik itu sembari menutup kran air.
“Ehm…Maaf, saya sudah lancang masuk kesini.” jawabku sambil menunduk.
Kemudian kujelaskan kepada wanita itu tentang maksud kedatanganku kemari. Kujelaskan bahwa aku adalah anak dari Ibu Resam bernama Bella, yang ingin bertemu dengan anaknya, Kak Marnia. Kujelaskan juga mengenai tanggal lahir ibu, dan ciri-ciri ibu untuk menguatkan bukti bahwa aku benar – benar anak dari Ibu Resam. Aku kaget ketika tahu ternyata wanita cantik yang ada di depanku itu adalah Kak Marnia yang selama ini aku cari.
“Owwhh,.. Bella adikku!” kata Kak Marnia sembari memelukku.
Aku merasakan damai sekali ketika aku di peluk Kak Marnia. Inilah kasih sayang yang selama ini kuharapkan dari ibuku yang belum pernah aku rasakan, walaupun orang yang memeluk saat ini bukanlah ibuku.
Kujelaskan semua hal yang terjadi antara aku dan ibu. Bahkan tentang kaburnya diriku dari rumah.
Astagfirullah… Kakak tidak menyangka sifat ibu bisa bertambah kejam sepeti itu, untung kamu cepat kesini.” kata kak Marnia sembari mengelus rambutku.
Asslamu’alaikum.” sapa ustad yang tadi ku lihat di masjid.
Wa’alaikumsalam.” jawab Kak Marnia.
“Ohhh iyaa dek, kenalin ini Mas Grahaq, suami kakak.”
“Oww.. Jadi ustad ini suami kakak. Kenalkan saya Bella adiknya Kak Marnia.” kataku sembari berjabat tangan dengannya.
***
Hari-hariku terasa berbeda setelah aku tinggal bersama Kak Marnia, aku merasa lebih bahagia. Hidupku bagaikan burung yang lepas dari sangkarnya. Dahulu aku dikekang oleh ibu, harus memenuhi semua perintahnya. Tapi, tidak untuk sekarang, aku bisa terbang bebas kemanapun aku mau, ku kepakkan sayapku kearah manapun sesuka hati.
Seperti biasa sore itu, aku menyiram tanaman di halaman rumah sambil mendengarkan Mas Grahaq yang mengajar santrinya. Aku sangat betah bila setiap sore berada di halaman rumah Kak Marnia. Disana aku bisa mendengarkan para santri belajar mengaji. Aku ingin bisa membaca Al Qur’an seperti mereka, aku ingin mendamaikan hati ibuku dengan bacaan Al Qur’an, aku ingin hati ibuku merasa tenang dan nyaman, seperti yang kurasakan saat aku mendengarkan para santri itu membacanya.
Apakah aku harus meninggalkan agama Kristen seperti yang di lakukan Kak Marnia setelah menikah dengan Mas Grahaq? Aku coba utarakan hal itu kepada Kak Marnia. Tetapi, Kak Marnia menyerahkan semua itu kepadaku, ia tak ingin keputusannya membebaniku. Akhirnya aku memutuskan untuk beragama Islam, karena hatiku merasa damai dengan bacaan ayat-ayat suci Al Qur’an.
Dengan bantuan Mas Grahaq aku telah sah masuk agama islam dengan membaca “Asyhadu an-Laa Ilaaha Illallah wa Asyhadu an-Na Muhammadarrosuululloh”.
Alhamdulillah, sekarang kamu memeluk agama Islam.” kata Mas Grahaq.
“Wahh.. Kamu semakin cantik  dengan kerudung itu Bella,” puji Kak Marnia.
Tiba-tiba saja aku teringat pada janjiku untuk kembali ke ibu. Akhirnya Kak Marnia memutuskan untuk mengantarku pulang kepada ibu.
***
Saat aku tiba di rumah, aku melihat ibu sedang duduk sendirian di kursi halaman depan. Terlihat raut wajah ibu lebih keriput sebelum aku tinggal dulu, maklum usia ibu sudah berkepala empat. Melihat ibu, aku langsung memeluknya. Ibuku sangatlah kaget dengan kehadiranku, aku tak menyangku ibu mau memelukku bahkan sampai mencium keningku. Air matakupun terus menetes mengiringi pertemuan yang haru ini.
“Bella, maafkan Ibu yang selama ini selalu kejam kepadamu. Semenjak kamu pergi, ibu mulai sadar bahwa betapa pentingnya kamu bagi ibu.” rintih Ibu.
“Jangan begitu Bu,. Justru aku yang meminta maaf kepada ibu, aku telah kabur dari ibu, aku melanggar nasihat ibu.” jawabku tersedu-sedu.
“Kalau begitu sekarang ibu dan Bella baikan, jangan lagi ada yang bertengkar. Maaf Marnia tidak bisa tiggal disini, saya harus menemani Mas Grahaq di Surabaya.” kata Kak Marnia disela-sela tangisan kami.
“Tidak apa-apa Kak. Akulah yang akan selalu menemani dan menjaga ibu sampai kapanpun.”
“Terimakasih Bella. Hatimu sungguh luar biasa, dan wajahmu kini semakin cantik dengan kerudung itu. Tapi maaf, ibu tidak bisa mengikuti agama kalian. Ibu tetap beragama Kristen.”
“Itu tidak masalah Bu, yang jelas kita selalu bersatu dan saling mengerti. Seperti semboyan Bhinneka Tunggal Ika.” kata Kak Marnia sembari merangkul aku dan ibu.
“Terimakasih ya Allah, betapa luar biasa keagungan-Mu. Sekarang aku bisa merasakan hangatnya pelukan ibu dan kakakku, walaupun tidak ada sesosok ayah disamping kami.” kataku bersyukur dalam hati.
***

                                                          Nama : Nadhila Dwi S. B. A.
                                                          Kelas : X3
                                                          No.    : 23

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS